ISIM MAUSHUL
v
موصول الأسماء الذى الأنثى التى و اليا اذا ما ثنيا لا تثبت
v
بل ما تليه اوله العلامة و
النون ان تشدد فلا ملامة
v
و النون من ذين و تين شددا ايضا و تعويضا بذاك قصدا
A.
Maushul Harfi
Isim maushul itu terbagi kepada
ismi dan harfi, dan mushannif tidak menyebutkan isim isim maushul harfiyah,
ismiyah itu ada 5 huruf, salah satunya an mashdariyah yang bersambung
dengan fi’il yang mutasharruf, apakah itu fi’il madhi , mudhari’, dan amar.
Contoh jika bersambung dengan fi’il madhi
عجبت من أن قام زيد jika bersambung dengan fi’il mudhari’ عجبت من أن يقوم زيد jika
bersambung dengan fi’il amar أشرت اليه بأن قم . apabila setelah an mashdariyah itu bukan
fi’il yang tasharruf maka maka an itu ditakhfifkan dari mustaqqalnya, contoh dalam
firman allah و أن ليس للانسان إلا ما سعى
Sebagian dari pada maushul harfi
adalah "أنَّ " yang bersambung
dengan isimnya dan khabarnya, contoh عجبت من أن زيدا قائم
Sebagian dari maushul harfi
adalah "أنّ" yang
ditakhfifkan begitu juga yang dimutsaqqalkan yang bersambung dengan isimnya dan
khabarnya akan tetapi isimnya dibuang apabila ditakhfifkan “an” dan isim itu
tidak dibuang apabila “an” itu di tatsqilkan
Sebagian dari maushul harfi
adalah "كي" yang
bersambung dengan fi’il mudhari’ saja. Contoh جئت لكي تكرم زيدا .
Sebagian dari maushul harfi
adalah " ما " mashdariyah
zharfiyah dan goiru zharfiyah yang bersambung dengan fi’il mudhari’ dan fi’il
madhi. Contoh pada fi’il madhi dengan ما zharfiyah لا أصحبك ما دمت منطلقا . ما دمت dalam ta’wil mashdarnya adalah مدة دوامك منطاقا adapun
dengan ghiru zharfiayah contoh عجبت مما ضربت زيدا , adapun
yang bersambung dengan fi’il mudhari’ contohnya عجبت مما تضرب زيدا . tidak
hanya ما maushul tersebut bersambung dengan fi’il
mudhari’ dan fi’il madhi tetapi bersambung juga dengan jumlah ismiyah seperti
dalam contoh عجبت مما زيد قائم tetapi seperti ini sedikit dipakai, dan yang
lebih banyak ما tersebut bersambung dengan zharfiyah
mashdariyah dengan fi’il madhi dan mudhari’ yang dinafikan dengan huruf لم contohnya لا أصحبك ما لم تضرب زيدا dan sedikit
sekali ما mashdariyah zharfiyah tersebut bersambung
dengan fi’il mudhari’ yang tidak dinafikan dengan لم . cotohnya لا أصحبك ما يقوم زيد .
Sebahagian dari pada maushul
harfi itu adalah لو yang bersambung dengan fi’il madhi atau fi’il
muidhari’. Contoh dengan fi’il madhi وددت لو قام زيد contoh
dengan fi’il mudhari’ وددت لو يقوم زيد
Maka dari penjelasan diatas dapat
kita ambil kesimpulan bahwa maushul harfi itu ada lima :
1.
أَنْ
2.
أَنَّ
3.
كي
4.
ما
5.
لو
Tanda dari pada maushul harafi
ini adalah sah dia dijadikan sebagi masdar. Seperti dalam contoh وددت لو تقوم maka sah
kita katakan dengan قيامك .
B.
Maushul Ismi
Adapun maushul ismi yaitu الذى (untuuk
mufrad muzakkar), التى (mufrad
mu’annats), maka apabila kedua isim tersebut ditasniyahkan maka ya pada
kalimat tersebut hilang. Seperti الذان dan التان dengan alif
dan nun pada ketika rofa’ kemudian الذين dan التين dengan ya dan nun pada
ketika nasab dan jar.
Dalam hal ini boleh juga
mentasydidkan nun karena sebagai ‘iwadh dari pada huruf ya yang
telah dibuangkan. Maka dapat dikatakan dengan اللذانِّ (dengan
tasydid nun) atau اللتانِّ (dengan
tasydid nun). Menurut ulama kuffah tidak hanya mentasydidkan nun, tetapi
boleh juga dengan mentasydidkan ya bersama nun, seperti اللذيِّنِّ dan اللتيِّنِّ . juga
menurut ulama kuffah dalam masalah mentasdidkan nun tidak hanya pada isim maushul
tetapi boleh juga pada isim isyarah dengan tasydid nun, seperti
dikatakan ذانِّ dan تانِّ begitu juga
dengan mentsdidkan ya seperti ذيِّنِّ dan تيِّنِّ pada ketika
‘iwadh dari pada ya.
v جَمْعُ
الَّذِى الْأُولَى الَّذِيْنَ مُطْلَقَا وَ
بَعْضُهُمْ بِالْوَاوِ رَفْعًا نَطَقَا
v
باللَّاتِ وَ اللَّاءِ الَّتِي قَدْ جُمِعَا وَ اللَّاءِ كَالَّذِيْنَ نَزْرًا
وَقَعَا
Artinya: jamak lafal الذى adalah الأولى dan الذين secara
mutlak untuk di’irab rofa’, nasab, dan jar. Dan sebahagian ulama ada yang
mengucapakan dengan waw pada ketika
rofa’. Adapun lafal الَّتى bentuk
jamaknya adalah اللَّات, اللّاتى, dan اللَّاء. Adapun اللَّاءِ
kadang-kadang suka datang seperti lafal الَّذِيْنَ yaitu
digunakan untuk lafal jamak mujakkar.
(syarah
bet)
الالى itu digunakan untuk zamak
mudzakkar secara mutlak, apakah untuk berakal atau tidak berakal. Contoh: جائنى الالى فعلوا , kadang
kadang dipakaikan juga lafal الالى itu untuk
mu’annats.
Lafal الَّذيْنَ diguanakan
untuk jamak muzakkar yang berakal secara mutlak artinya dapat digunakan untuk
tempat rofa’, nasab, dan jar.
Contoh rofa’: جائنى الذين أكرموا
Contoh nasab: رأيت الذين أكرموه
Contoh jar: مررت بالذين اكرموه
Tetapi sebahagian orang arab (hujail)
mengatakan bahwa pada الَّذيْنَ ketika
rofa’ dengan waw maka dikatakan الذون dan nasab/jar
dengan ya dengan الَّذيْنَ
Pada ketika jamak mu’annats
digunakan dengan lafal اللات dan اللاء dengan
dibuangkan ya, seperti dalam contoh جائنى اللات فعلن و اللاء فعلن . dan boleh juga dengan tidak membuangkan ya,
seperti اللاتى dan اللائي. Kadang
kadang اللاء itu bermakna الذين .
v وَ مَنْ وَ مَا وَ ألْ تُسَاوِى مَا ذُكِرْ وَ هَكَذَا ذُو عِنْدَ طَيِّئِ شُهِرْ
v
وَ كَالَّتِي أَيْضًا لَدَيْهِمْ
ذَاتُ وَ مَوْضِعَ اللَّاتِي أَتَى
ذَوَاتُ
Artinya: adapun lafal man, maa, dan alif lam,
menyerupai semua lafal maushul yang telah diterangkan, demikian pula lafal dzuu
menurut orang-orang thayyi sunggguh telah masyhur. Dan menurut orang-orang
thayyi, lafal ذات sama seperti الَّتي untuk mufrad mu’annaats, dan pada
tempat اللّاتي ada pula lafal ذوات (yang bertempat pada jamak mu’annats salim).
(syarah
bet)
Dalam bet ini mushannif
menyebutkan bahwa مَنْ, مَا ,ألْ itu adalah
masing-masing lafal yang digunakan untuk mufrad, tatsniyah, dan jamak apakah
dia mu’annats atau muzakkar. Seperti dalam contoh muzakkar: جاء من قام و من قاما و من قاموا . boleh juga untuk muannats, seperti dalam contoh:
جاء من قامت و من قامتا و من قمن . begitu
juga untuk contoh isim maushul lainnya, seperti أل kita lihat
dalam contoh جائنى القائم و القائمة dst.
Kebanyakan isim maushul dengan ما itu
digunakan untuk yang tidak berakal,
kadang-kadang saja digunakan untuk yang berakal, seperti dalam firman allah
SWT: فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى . dan isim maushul dari pada من itu kebalikan dari ما artinya
kebanyakan digunakan untuk berakal dan kadang-kadang digunakan untuk yang tidak
berakal, contoh tidak berakal seperti dalam firman Allah SWT: وَ مِنْهُمْ مَنْ يَمْشِى . adapun alif lam (أل) itu digunakan untuk orang yang berakal dan orang yang
tidak berakal, seperti dalam contoh: جائنى القائم و المركوب . dalam hal ini (أل) ada perbedaan pendapat, satu qaum menyatakan bahwa (أل) itu adalah
isim maushul, ini shahih. Dan ada juga yang menyatakan bahwa (أل) itu huruf
maushul, ada juga yang menyatakan itu huruf ta’rif bukan dari mashul
pada sesuatu apapun.
Adapun ما dan من keduanya
bukan mashdar, hanya saja keduanya adalah dua isim yang sama, tetapi ما itu adalah
mashdariyah. Menurut pendapat yang shahih bahwasanya ما itu adalah
huruf, dan menurut al-akhfasy bahwasanya ما itu adalah
isim.
Menurut thayyi ذو dipakai
untuk isim maushul baik untuk berakal atau tidak berakal, dan merupakan suatu
lafaz yang digunakan untuk mufrad, tatsniyah, jamak, baik muzakkar atau
mu’annats, seperti kita lihat dalam contoh muzakkar: جائنى ذو قام وذو قاما و ذو قاموا begitu juga contoh untuk mu’annats seperti: جائنى ذو قامت و ذو قامتا و ذو قمن .
Dalam keterangan bet selanjutnya
mengatakan bahwa lafal ذو bisa ditasniyahkan dan dijamakkan sama seperti
lafal الَّتى. Adapun tasniyah ketika muzakkar
seperti (ذوا) ketika jamak seperti (ذُوُوْ) keduanya pada tempat rofa’. Adapun pada tempat
nasab dan jar pada ketika tasniyah seperti ذُوَيْ , dan pada ketika jamak muzakkar sepeti ذُوِيْ . jika pada tempat muannats maka
tatsniyah seperti (ذُواتَا) pada ketika rofa’, dan ذُوَاتَي pada ketika nasab dan jar. Adapun jamak ketika
mu’annats seperti ذُواتُ yang dibina atas dhammah, tetapi menurut syekh
baha’uddin bin nuhas bahwa i’rab dari ذُواتُ itu dengan
i’rab jamak mu’annats (dhammah, kasrah,kasrah).
Tetapi yang lebih masyhur bahwa ذو yang
berbentuk maushul itu di i’raab dengan bina, ada juga sebagian ulama nahwu
bahwa ذو di i’rab ketika rofa’ dengan waw,
ketika nasab dengan alif, ketika jar dengan ya. Seperti contoh,
Contoh rofa’: جائنى ذو قام
Contoh nasab: رأيتُ ذا قَامَ
Contoh jar: مررت بذي قام
Adapun ذات itu sama
seperti ذوات , menurut pendapat yang fashih bahwa kalimat tersebut
dibina atas dhammah, apakah pada tempat rofa’, nasab, dan jar. Ada juga
sebahagian ulama yang mengatakan kalimat tersebut tidak bina, i’rabnya sama
seperti مسلمات dengan dhammah pada ketika
rofa’, dan kasrah pada ketika nasab, dan jar.
v
وَ مِثْلُ مَا ذَا بَعْدَ مَا اسْتشفْهَامِ أَوْ مَنْ إِذَا لَمْ تُلْغَ
فِى الْكَلَامِ
Artinya: adapun lafal ذَا yang berada sesudah ما istifham seperti ما dalam penggunaanya atau seperti من bila tidak menganggur dalam kalam (dikosongkan).
(Syarah Bet)
Maksud dari bet tersebut adalah bahwa
ذَا merupakan isim isyarah yang
terkhusus digunakan untuk isim maushul yang sama seperti ما , yang dapat digunakan untuk mufrad,
tatsniyah, jamak, mujakkar maupun mu’annats. Seperti dalam contoh: مَنْ ذَا عِنْدَكَ atau مَا ذَا عِنْدَكَ apakah
kalimat عِنْدَ tersebut ditujukan untuk
mujakkar atau mu’annats.
Adapun syarat ذَا menjadi isim maushul yaitu, harus didahului
oleh مَا atau مَنْ istifham, Seperti
dalam contoh:
مَنْ ذَا جَاءَكَ = maka من itu isim
istifham yang jadi mubtada’, dan ذَا itu sebagai isim maushul yang bermakna الَّذي yang menjadi khobar dari من , dan جَاءَكَ shilat
maushul, takdirnya seperti الَّذِي جَاءَكَ .
مَا ذَا فَعَلْتَ = maka مَا adalah isim istifham yang menjaadi mubtada’,
dan ذَا itu sebagai isim maushul yang
menjadi khobar dari مَا, dan فَعَلْتَ itu sebagai
shilat dari isim maushul, dengan takdirnya adalah الَّذِى فَعَلْتَ sedangkan
‘aidnya telah dibuangkan, takdirnya adalah مَا ذَا فَعَلْتَهُ atau مَا الَّذِى فَعَلْتَهُ .
Disyaratkan juga مَا atau مَنْ itu bukan ilgho’ dalam kalam, dalam arti bahwa
ما atau من bersama ذَا adalah kalimat yang satu dalam istifham,
contohnya: مَاذَا عِنْدَكَ = maka مَاذَا adalah
mubtada’, dan عِنْدَكَ adalah
khobarnya.
من ذَا عِنْدَكَ = maka من ذَا adalah
mubtada’, dan عِنْدَكَ adalah khobarnya.
Tetapi dua contoh ini مَاذَا عِنْدَكَ dan من ذَا عِنْدَكَ juzu’ yang kedua yaitu ذَا adalah
ilgho’, karena telah bersatu dengan huruf istifham.
v وَ كُلُّهَا يَلْزَمُ بَعْدَهُ
صِلَةْ عَلَى ضَمِيْرٍ لَائِقِ
مُشْتَمِلَةِ
Artinya: adapun semua isim maushul (dan huruf maushul) sesudahnay itu harus
memakai shilah (penghubung) dan dhamir yang kembali kepadannya (yang disebut
dengan marji’ dhamir) yang mencakup dan seimbang dengan maushulnya (dalam hal
mufrad, tasniyah, jamak, mujakkar ataupun mu’annats).
(Syarah Bet)
Seluruh isim maushul apakah dia
berbentuk isim atau huruf lajim setelahnya shilat yang akan menjelaskan makna
dari isim maushul. Adapun syarat dari pada shilat isim maushul adalah “bahwa
shilat tersebut harus sesuai dhamirnya dengan isim maushulnya. Jika isim
mauhsulnya mufrad maka shilatnya juga harus mufrad, seperti muzakarnya: جَائَنِى الَّذِى ضَرَبْتَهُ , dan mu’annatsnya seperti: جَائَتْ الَّتِى ضَرَبْتِهَا, jika maushulnya berbentuk tasniyah maka shilatnya
juga berbentuk tasniyah, muzakkarnya seperti: جَائَنِى اللَّذَانِ ضَرَبْتَهُمَا
, dan
mmu’annatsnya seperti: جَائَتْ الَّتَانِ ضَرَبْتِهُمَا , jika
maushulnya berbentuk jamak maka shilatnya juga harus berbentuk jamak,
muzakkarnya seperti: جَائَنِى الَّذِيْنَ ضَرَبْتَهُمْ , dan mu’annatsnya
seperti: جَائَتْ اللَّاتِ ضَرَبْتِهُنَّ .
Adapun ما dan من itu adalah lafal yang berbentuk mufrad
mujakkar yang dapat digunakan pada makna mutsanna dan jamak, jika ditujukan
kepada mutsanna dan jamak. Dalam hal ini dibolehkan seperti itu hanya saja
untuk menjaga makna dan lafalnya. Contohnya: أَعْجِبُنِى منْ قَامَ وَ من قَامَتْ
وَ منْ قَامَا وَ منْ قَامَتَا وَ منْ قَامُوْا وَ منْ قُمْنَ begitu juga dengan ما .
v وَ جُمْلَةٌ أَوْ شِبْهُهَا
الَّذِى وُصِلْ بِهِ كَمَنْ
عِنْدِي الَّذِى ابْنُهُ كُفِلْ
artinya: lafal yang dipakai shilah maushul itu
adakalanya terdiri dari jumlah (ismiyah atau fi’liyah) atau syibih jumlah
(zharaf atau jar majrur), seperti dalam contoh: مَنْ عِنْدِي الَّذِى ابْنُهُ
كُفِلَ (siapa yang
berada dekat saya yang anaknya itu dipelihara).
(Syarah Bet)
Shilat maushul itu bisa berbentuk
jumlah atau syibhil jumlah (zharaf atau jar majrur), hanya saja syibhil jumlah
itu tidak menjadi shilat dari isim maushul alif dan lam (أل) .
Adapun syarat shilat maushul yang
berbentuk jumlah ada 3, yaitu:
1.
Jumlah itu harus berbentuk
khabariyah, maka dikecualikan jumlah yang bukan berbentuk khabariyah, seperti
berbentuk thalabiyah dan insya’iyyah, contoh thalabiyah: جَائَنِى الَّذِى إِضْرِبْهُ , maka
thalabiyah tersebut tidak dikatakan jumlah, berbeda dengan pendapat al-kasa’i
yang mengatakan termasuk jumlah. Contoh insya’iyah: جَائَنِى الَّذِى ليته قَائِمٌ , maka
insy’iyah tersebut tidak dikatakan
jumlah, berbeda dengan pendapat yang mengatakan insya’iyah itu jumlah.
2.


Bukan bermakna ta’ajjub, dan tidak juga berbentuk
jumlah ta’ajjub, seperti جَائَنِى الَّذِى مَا أَحْسَنَهُ . jumlah ta’ajjub.



3.
Jumlah itu tidak butuh kepada
kalam sebelumnya, jika kalam itu butuh kepada kalam sebelumnya seperti جَائَنِى الَّذِى لَكِنَّهُ
قَائِمٌ maka tidak dikategorikan kepada jumlah.
Adapun syarat syibhul jumlah (jar
majrur dan zharaf) harus sempurna, yang dikatakan dengan sempurna adalah ketika
isim maushul bersambung dengan jar majrur atau zharaf yang sebagai syibhul
jumlah tersebut berfaedah. Contoh: جَاءَ الَّذِى عِنْدَكَ atau جَاءَ الَّذِى فِى الدَّارِ , maka tidak sah syibhul jumlah jika washal
antara isim maushul dan jar majrur atau zharaf tidak berfaedah, seperti جَاءَ الَّذِى بِكَ atau جَاءَ الَّذِى اليَوْمَ
v وَ صِفَةٌ صَرِيْحَةٌ صِلَةُ أَلْ وَ كَوْنُهَا بِمُعْرَبِ الْأَفْعَالِ
قَلَّ
Artinya: adapun shilah maushul dengan alif lam, harus
dengan isim sifat yang sharih (yaitu isim fa’il atau maf’ul atau sifat
musyabbahat). Dan keadaan shilah dengan fi’il mu’rab seperti mudhari’ jarang
terjadi.
(Syarah Bet)
Adapun alif dan lam (أل) itu menjadi
isim maushul apabila bersambung dengan shifat yang sharih, yang dikatakan
dengan shifat sharih adalah isim fai’il seperti: الضَارِبُ dan isim
maf’ul seperti: المَضْرُوْبُ dan shifat
musyabbihah seperti: ألحَسَنُ الوَجْهُ . berbeda pendapat tentang alif
dan lam (أل) yang masuk kepada shifat
musyabihah ada yang mengatakan termasuk isim maushul dan ada juga yang
mengatakan itu bukan isim maushul. Tetapi menurut syekh abi hasan bin ‘ashfur
dalam masalah ini dia mengatakan sekali kali adalah isim maushul dan kali yang
lain dia mengatakan bukan isim maushul.
Jarang sekali shilat yang
berbentuk fi’il mudhari’ yang dimasuki oleh alif dan lam, seperti yang
disebutkan dalam bet وَ كَوْنُهَا بِمُعْرَابِ الْأَفْعَالِ قَلَّ , seperti dalam sebuah contoh : مَا أَنْتَ بِالْحُكْمِ التُّرْضَى
حُكُوْمَتُهُ * وَ لَا الْأَصِيْلِ وَ لَا ذِى الرَّأْيِ وَ الْجَدَلُ (kamu itu bukanlah orang yang dapat
disetujui keputusan antara dua orang, juga bukan keturunan orang yang mulia,
tidak mampu berpikir dan tukang bertengkar). Dari contoh tersebut lafal التُّرْضَى adalah fi’il
mudhari’ yang beralif dan lam dan menjadi shilah dari أل . dalam hal ini alif lam yang masuk pada
mudhari’, menurut jumhur ulama bashariin itu khusus dipakai dalam syi’ir, sedangkan
mushannif (ibnu malik) mengatakan tidak hanya digunakan untuk syi’ir, tapi
boleh juga untuk lainnya dalam keadaan ikhtiyar.
Jarang juga (syadz) shilah itu
berbentuk jumlah ismiyah atau zharaf. Contoh shilat berbentuk jumlah ismiyah: من القوم الرسول الله منهم * لهم
دانت رقاب بنى معد , contoh shilat berjumlah zharaf seperti: من لا يزال شاكرا على المعه, فهو
حر بعيشة ذات سعة
v اي كما و اعربت ما لم تضف و
صدر وصلها ضمير انحذف
Artinya: lafal اي sama
seperti ما (dalam segala hal), selama tidak idhafahkan
permulaan shilahnya adalah dengan isim dhamir yang terbuang.
(Syarah Bet)
Kalimat اي adalah satu
kalimat yang digunakan untuk muzakkar, muannats, mufrad, tatsniyah, dan jamak. Kalimat
اي itu terbagi kedalam 4 keadaan :
1.
Dia di idhafahkan dan disebutkan
shadar shilatnya. Seperti dalam contoh: يعجبني أيهم هو قائم
2.
Bahwa dia tidak di idhafahkan dan
tidak disebutkan shadar shilatnya. Contoh: يعجبنى اى قائم
3.
Bahwa tidak di idhafahkan dan
disebutkan shadar shilatnya. Contoh : يعجبنى اي هو قائم
4.
Bahwa dia di idhafahkan dan
dibuang shadar shilatnya . pada contoh : يعجبنى ايهم قائم
Dari ke 4 bagian tersebut mulai
dari 1 – 3 itu mu’rab dengan harkat yang tiga, yaitu rofa’, nasab, dan jar.
Adapun contoh diidhafahkan dan disebutkan shadar shilatnya, yaitu:
Contoh ketika rofa’ : يُعْجِبُنِى اَيُّهُمْ هو قَائِمٌ
Contoh ketika nashab : رَاَيْتُ ايَّهُمْ هُوَ قَائمٌ
Contoh ketika jar : مررت بِاَيِّهِمْ هُوَ قَائِمٌ
Bagitu juga yang tidak diidhafahkan dan tidak
disebutkan shadar shilatnya, contohnya rofa’ : يُعْجِبُنِى أَيُّ قَائِمٌ
Contoh nasab: رَأَيْتُ أَيَّ قَائِمٌ
Contoh jar: مَرَرْتُ بِأَيِّ قَائِمٌ
Begitu juga yang tidak diidhafahkan dan disebutkan
shadar shilatnya, seperti contoh rofa’ : أَيُّ هُوَ قَائِمٌ
Contoh nasab : أَيَّ هُوَ قَائِمٌ
Contoh jar : أَيِّ قَائِمٌ
Kemudian pada poin nomor 4 itu
bina atas dhammah apakah dia pada tempat rofa’ nasab dan jar, contoh pada
tempat rofa’: يُعْجِبُنِى أَيُهُمْ قَائِمٌ , contoh nasab: رَأَيْتُ أَيُّهُمْ قَائِمٌ , contoh
jar: مَرَرْتُ بِأَيِّهِمْ قَائِمٌ . hal ini terdapat dalam firman allah swt:
ثُمَّ لَنَنْزِعَنَّ مِنْ كُلِّ شِعَةٍ
أَيُّهُمْ أَشَدُّ
v وَ بَعْضُهُمْ أَعْرَبَ مُطْلَقًا
وَ فِى ذَا الْحَذْفِ أَيٌّا غَيْرُ أَيِّ يَقْتَفِى
Artinya: adapun
sebagian orang arab biasanya mengi’rabkan kepada lafal ayyun dengan
mutlak dan tidak melarang membuang shadar shilahnya, selain ayyun pun
biasanya mengikuti ayyun, dengan syarat:
v إِنْ يُسْتَطَلْ وَصْلٌ وَ إِنْ
لَمْ يُسْتَطَلْ فَالْحَذْفُ نَزْرٌ وَ أَبَوْا أَنْ
يُخْتَزَلْ
v إِنْ صَلُحَ الْبَاقِى لِوَصْلٍ
مُكْمِلِ وَ الْحَذْفُ
عِنْدَهُمْ كَثِيْرٌ مُنْجَلِى
Artinya: kalau
dianggap shilahnya panjang yaitu lebih dari satu shilah, maka boleh dibuang
shilahnya. Kalau shilahnya tidaka panjang, maka membuang shadar shilatnya itu
jarang sekali, ulama nahwiyyin menolak untuk memutuskan (membuang shilahnya)
lagi sesudah membuang shadar shilah itu, meskipun kalimat sisanya masih bisa
menyempurnakan shilah. Dan membuangkan shilah menurut ulama nahwiyyin banyak
sekali yang jelas, seperti dlam bet berikut:
v فِى عَائِدٍ مُتَّصِلٍ إِنِ
انْتَصَبْ بِفِعْلٍ أَوْ وَصْفٍ كَمَنْ نَرْجُوْ
يَهَبْ
Artinya: dalam
dhamir yang kembali muttashil, kalau dhamir itu menerima i’rab nashab oleh
fi’il atau shifat, seperti: مَنْ نَرْجُوْا يَهَبْ aslanya مَنْ نَرْجُوْهُ يَهَبْ
(Syarah Bet)
وَ بَعْضُهُمْ أَعْرَبَ مَطْلَقًا , sebahagian orang ‘arab, mengi’rabkan lafal أيّ secara mutlak, artinya tidak ada bina dan
mu’rab dalam hal i’rab apakah shadar shilatnya disebutkan atau dibuang atau
apakah dia di idhafahkan atau tidak. Maka dia berlaku pada ketika rofa’ dengan
dhammah, ketika nasab dengan fathah, ketika jar dengan kasrah. Maka dari itu
seperti firman allah ثُمَّ لَنَنْزِعَنَّ أَيَّهُمْ
أشَدُّ dalam satu qira’at أَيَّهُمْ itu dibaca dengan nasab, bukan bina atas dhammah. Dan
ada riwayat yang mengatakan bahwa lafal أيّ terlebih
afdhal dengan jar.
ذَا الْحَذْفِ أَيَّا غَيْرُ أَيِّ
يَقْتَفِى , dalam bet ini menjelaskan
bahwa lafal yang selain ayyun (seperti الّذى, الَّتى, الخ ) juga mengikuti lafal ayyun sampai kepada
tempat pembuangan ‘aidnya, apakah ‘aidnya berbentuk marfu’, mansub, majrur dsb.
Hanya saja dalam masalah selain ayyun pada ketika marfu’ pembuangan ‘aid
itu bisa dilakukan apabila mubtada dan khabarnya itu berbentuk mufrad. Maka
tidak boleh dikatakan Seperti contoh: جَائَنِى اللَّذَانِ قامَ dengan membuangkan dhamir ‘aidnya , karena dalam
contoh tersebut mubtada’ dan khabarnya
berbentuk tasniyah (bukan mufrad), yang benar dalam contoh tersebut adalah جَائَنِى اللَّذَانِ قَامَا .
Mubtada’ (shadar shilat) ayyun
sekalipun tidak panjang itu boleh dibuangkan sebagaimana contoh-contoh
diatas tentang pembagian keadaan ayyun. Seperti contoh: يعجبنى ايهم قائم , tetapi
isim maushul yang selain ayyun, mubtada’nya (shadar shilatnya) itu
tidak boleh dibuang apabila shadar shilatnya itu pendek, walaupun
ada yang membolehkannya tetapi sedikit orang melakukannya, tetapi apabila
shadar shilatnya selain ayyun tersebut panjang, maka membuang mubtadanya
(shadar shilatnya) boleh dilakukan, seperti dalam contoh: جَاءَ الَّذِى هُوَ ضَارِبٌ زَيْدًا
maka boleh
dikatakan جَاءَ الَّذِى ضَارِبٌ زَيْدًا dengan dibuangkan mubtadanya yaitu هُوَ karena shadar shilatnya panjang. Dan menurut
ulama-ulama kuffah mengatakan bahwa boleh membuangkan mubtada (shadar shilat)
dari selain ayyun walupun shilat itu pendek karena berdasarkan qiyas,
seperti dalam contoh: جَاءَ الَّذِى قَائِمٌ dengan membuangkan shadar shilatnya, yang
asalnya adalah جَاءَ الَّذِى هُوَ قَائِمٌ , ulama kuffiyyin juga membolehkan pada contoh
لَا سِيمَا زَيْدٌ dengan
dibaca rofa’ pada kaliamat زَيْدٌ dengan alasan bahwa مَا itu adalah isim maushul, dan زَيْدٌ adalah
khobar dari mubtada’ yang telah
dibuangkan yaitu هُوَ , yang sebenarnya dalam contoh itu ialah لا سِي الَّذِى هُوَ زَيْدٌ , yang
kemudian dibuangkan ‘aid dari الَّذِى yaitu هُوَ. Dalam
contoh ini لَا سِيمَا زَيْدٌ merupakan
tempat selain isim maushul ayyun yang wajib dibuangkan shadar shilatnya,dan
dalam hal ini tidak dikatakan syadz, karena isyarah dari perkataan mushannif
adalah وَ أَبَوْا أَنْ يُحْتَزَلْ .
إِنْ صَلُحَ الْبَاقِى لِوَصْلٍ
مُكْمِلِ dalam bet ni menjelaskan bahwa
syarat pembuangan shadar shilat dari ayyun atau selain ayyun itu
bisa dilakukan apabila setelah shadar shilat itu bukan berupa jumlah atau jar
majrur/zharaf (dalam bentuk sempurna). Maka apabila setelah shadar shilat itu
berupa jumlah yang sempurna maka pembuangan shadar shilat itu tidak boleh
dilakukan, seperti dalam contoh (jumlah):
جَاءَ الَّذِى هُوَ اَبُوْهُ مُنْطَلِقًا atau jar majrur: جَاءَ الَّذِى هُوَ فِى الدَّارِ atau zharaf:
جَاءَ الَّذِى هُوَ عِنْدَكَ , maka dari contoh-contoh tersebut tidak boleh
dibuangkan shilatnya, seperti kita katakan: جَاءَ الَّذِى اَبُوْهُ
مُنْطَلِقًا atau جَاءَ الَّذِى فِى الدَّارِ atau جَاءَ الَّذِى عِنْدَكَ walaupun dengan sebab pembuangan
shadar shilat ini status kalam masih sempurna, karena jika shadar shilat
tersebut dibuangkan maka status yang sebenarnya dari kalam tersebut tidak
diketahui, apakah ada pemuangan shadar shilat atau tidak.
Dari hukum hukum diatas tidak
hanya berlaku pada isim dhamir yang statusnya sebagai shadar shilat dan mubtada,
yang terpenting dari itu adalah apabila ada kalam yang jika tidak diketahui
buang atau tidak buang maka tidak boleh ‘aidnya itu dibuang, atas dasar itu
maka jika ada shilat yang bersambung dengan isim dhamir yang statusnya sebagai
‘aid dari isim maushul dan didepannya merupakan jumlah atu jar majrur dan
zhorof maka ‘aid tersebut tidak boleh dibuangkan, seperti dalam contoh: جَاءَ الَّذِى ضَرَبْتُهُ فِى دَارِهِ
maka tidak
boleh kita katakan dengan جَاءَ الَّذِى ضَرَبْتُ فِى دَارِهِ dengan
membuangkan dhamir الهاء pada kalimat ضَرَبْتُهُ karena
panbuangan tersebut tidak diketahui nantinya.
وَ الْحَذفُ عندَهُمْ كَثِيْرٌ
مُنْجَلِى....الخ dalam bet ini menjelaskan
bahwa ‘aid itu boleh dibuang dengan syarat apabila ‘aid itu dhamir muttashil
yang manshub dengan ‘amil dengan fi’il yang tam atau dengan shifat, seperti
dalam contoh (fi’il tam): جَاءَ الَّذِى ضَرَبْتُهُ , dan contoh shifat: جَاءَ الَّذِى أَنَا مُعْطِيْكُهُ
دِرْهَمٌ maka boleh kita katakan dengan جَاءَ الَّذِى ضَرَبْتُ atau جَاءَ الَّذِى أَنَا مُعْطِيْكُ
دِرْهَم , pembuangan ‘aid yang manshub
beserta fi’il itu banyak sekali dilakukan, dan sedikit sekali pembungan ‘aid
yang manshub dengan shifat. Tetapi apabila ‘aid itu dhamir munfashil yang
manshub maka ‘aid tersebut tidak boleh dibuangkan, seperti dalam contoh: جَاءَ الَّذِى إِيَّاهُ ضَرَبْتُ maka tidak boleh kita katakan
dengan جَاءَ الَّذِى ضَرَبْتُ dengan
dibuangkan إِيَّاهُ , begitu juga apabila ‘aid yang
manshub dengan huruf, maka ‘aid tersebut tidak boleh dibuangkan, contohnya: جَاءَ الَّذِى أَنَّهُ مُنْطَلِقٌ maka tidak
boleh dikatakan جَاءَ الَّذِى أَنَّ مُنْطَلِقٌ dengan
dibuangkan dhamir pada أَنَّهُ , tidak boleh juga dibuangkan
‘aid apabila dia merupakan dhamir yang muttashil dengan fi’il naqish, seperti
dalam contoh: جَاءَ الَّذِى كَانَهُ زَيْدٌ maka tidak boleh dikatakan dengan جَاءَ الَّذِى كَانَ زَيْدٌ , dapat kita simpulkan bahwa ‘aid boleh dibuangkan
dengan syarat:
1.
Dhamir yang manshub dengan fi’il
atau shifat
2.
‘aidnya Bukan dhamir munfashil
manshub
3.
Bukan manshubnya disebabkan
muttashil dengan huruf
4.
Bukan manshubbnya disebabkan
muttashil dengan fi’il naqish
v كَذَاكَ حَذْفُ مَا بِوَصْفٍ
خُفِضَا كَأَنْتَ قَاضٍ
بَعْدَ أَمْرٍ مِنْ قَضَى
v كَذَا الَّذِى جُرَّ بِمَا
الْمَوْصُوْلَ جَرْ كَمُرَّ
بِالَّذِى مَرَرْتُ فَهُوَ بَرْ
Artinya: demikian
juga boleh membuang shilah yang dijarkan oleh shifat, seperti أَنْتَ قَاضٍ yang terjadi setelah amar dari kata قضى , demikian
juga boleh membuangkan dhamir yang dijarkan oleh huruf jar, dan huruf jar itu
dipakai juga untuk menjarkan isim maushul, seperti مَرَّ بِالَّذِى مَرَرْتُ فَهُوَ
بَرْ
(Syarah Bet)
Dari bet tersebut menjelaskan
tentang dhamir ‘aid yang majrur, apakah majrur itu dengan idhafah atau
dengan huruf.
Apabila ‘aid tersebut majrur
dengan idhafah maka ‘aid itu tidak boleh dibuangkan melainkan idhafahnya dengan
shifat (isim fai’il / isim maf’ul) yang
bermakna hal atau istiqbal, seperti dalam contoh: جَاءَ الَّذِى أَنَا ضَارِبُهُ
الآن أَوْ غَدًا maka boleh dibuangkan الهاء pada
kalimat ضَارِبٌ sebagai ‘aid dari isim maushul, karena isim fa’il tersebut
bermakna hal atau istiqbal, lain halnya ‘aid itu tersebut idhafah dengan isim
fa’il yang bukan bermakna hal atau istiqbal, maka pembuangan ‘aid yang majrur
itu tidak boleh dilakukan. Seperti dalam firman allah: فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ asalnya
adalah مَا أَنْتَ قَضِيْهِ
Apabila ‘aid tersebut majrur
dengan huruf maka ‘aid tersebut tidak boleh dibuangkan melainkan apabila huruf
yang menjarkan ‘aid tersebut juga menjarkan isim maushul dengan lafaz hurur jar
yang sama dan makna yang sama (‘amilnya dalam satu maddah). Seperti dalam
contoh: مَرَرْتُ بِالّذِى مَرَرْتُ بِهِ maka boleh
dikatakan مَرَرْتُ بِالّذِى مَرَرْتُ dengan
dibuangkan dhamir الهاء . hal ini seperti dalam firman Allah SWT: وَ يَشْرَبُ مِمَّا تَشْربون dari ayat
telah dibuangkan ‘aid dari isim maushulnya yaitu مِنْهُ asal dari
ayat tersebut adalah وَ يَشْرَبُ مِمَّا تَشْربون
مِنْهُ . maka apabila huruf yang menjarkan ‘aid tersebut
berbeda dengan amil yang menjarkan isim maushul atau berbeda makna antara yang
menjarkan dhamir dengan yang menjarkan isim maushul atau berbeda muta’allaqnya maka
‘aid tersebut tidak boleh dibuangkan, seperti dalam contoh beda makna:عَلَى زَيْدٍ مَرَرْتُ بِالّذِى
مَرَرْتُ بِهِmaka ‘aid dari isim maushul (بِهِ) tidak
boleh dibuangkan, karena berbeda makna dengan بِالّذِى dalam arti الباء yang masuk dengan isim dhamir bermakna سببييّة sedangkan الباء yang masuk dengan isim maushul bermakna الصاق , adapun contoh beda amil: مَرَرْتُ بِالَّذِى مَرَرْتُ عَلَيْهِ
maka tidak
boleh dikatakan مَرَرْتُ بِالَّذِى مَرَرْتُ , adapun
contoh beda ta’alluq: مَرَرْتُ بِالَّذِى فَرَحْتُ بِهِ maka tidak boleh dikatakan مَرَرْتُ بِالَّذِى فَرَحْتُ

Tidak ada komentar:
Posting Komentar